Arsip Kategori: Parenting

Masih Adakah yang Mau Mendengarkan Anak?

Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia beda. Dan seterusnya. Bahkan tak jarang spontanitasnya membuat kami harus memberinya isyarat jari telunjuk yang diletakkan di mulut, tanda tidak boleh berbicara seperti itu depan orang banyak.

Hari itu ia mendadak berbicara terbata-bata pada suku kata pertama kalimat yang akan ia ucapkan. Misalnya, untuk menyebut kata “di mana” ia perlu mengulang suku kata “di” tersebut hingga beberapa kali, barulah menyusul kata “mana” di belakangnya. Awalnya kami pikir, hal itu hanya terjadi sesaat saja. Kami pun menganggapnya sebagai kejadian biasa. Tetapi besok dan besoknya lagi masih terulang, maka kami mulai berpikir, pastilah ada sesuatu yang tidak beres dalam perkembangan kemampuan bicaranya.

Beruntungnya kami tidak tinggal di tengah keluarga besar, yang beragam, yang mana tidak mampu kami kontrol perilakunya. Sehingga penanaman metode pengasuhan tidak mendapat campur tangan dari pihak luar. Saat itu kami berdua (saya dan suami) dari awal berumah tangga sudah saling mengingatkan satu sama lain, sesiapa pun untuk menertawai hal-hal tidak lazim yang anak lakukan. Seperti kebanyakan reaksi orang ketika mendapati anak cadel misalnya, mereka biasanya ikut mengulang kata-kata cadel si anak. Lalu diakhiri dengan ekspresi tertawa. Karena muncul reaksi ketawa dari sekelilingnya, bagi anak hal itu identik dengan sesuatu yang disenangi. Yang mana akan mereka ulang-ulangi walaupun salah. 

Atau boleh jadi juga anak akan merasa ditertawai sehingga membuat dia justru akan merasa tegang dan akhirnya semakin banyak membuat kesalahan. Ini berlaku untuk ketawa yang dibarengi dengan komentar menjatuhkan di dalamnya. Orang dewasa perlu menyadarinya. Sebab jika tidak, kondisi tersebut akan semakin berat. Bukannya pulih, yang terjadi justru anak akan semakin sulit untuk dinormalkan.

Apa sesungguhnya penyebab anak bisa gagap pada usia tiga tahunan? Menurut ahli, kondisi tersebut terjadi dikarenakan kapasitas berpikirnya melampaui kecakapan bicaranya, juga karena perbendaharaan katanya yang masih sangat terbatas. Pengetahuan tersebut kami dapat dari hasil membaca sebuah buku pengasuhan. Alhasil setelah memahami alurnya, kami jadi lebih tenang dan mampu bersabar mendengarkan putri kami menyelesaikan kalimatnya tanpa disela sedikit pun.

Terapi mendengarkannya hingga akhir kalimat itulah yang akhirnya berhasil memulihkan kemampuan bicaranya bisa kembali normal seperti sedia kala. Betapa luar biasanya terapi mendengar ini.

Ingin didengar, tidak mau mendengar

Jika saya ditanya saat ini, apa jurus ampuh yang perlu dipraktikkan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Entah dengan anak, dengan pasangan, ataupun dengan orangtua. Maka jawaban saya adalah kecakapan mendengar. Bukan mendengar kosong yang hanya terlihat seolah-olah saja, tetapi yang sungguh-sungguh mendengar kata demi kata dan menyimaknya, mengolahnya masuk ke dalam pikirannya. Tidak mudah, tetapi sangat berharga untuk dilakukan. Banyak orang tidak menyadari bahwa kekuatan pengaruh kita terletak pada kemauan mendengar. Mereka pikir memengaruhi orang lain itu tercipta saat mereka bicara, dan orang tersebut mendengarkan mereka. Sepintas sepertinya betul. Namun pada hakikatnya justru sebaliknya yang terjadi.

Saat seseorang didengarkan, harga dirinya terangkat. Dan ketika harga dirinya terangkat, maka ia akan sangat senang dan boleh jadi akan memenuhi apa yang jadi keinginan kita. Bukankah kita sebagai pendengar telah berhasil memengaruhi dia? Seperti itu pula yang terjadi dalam dunia anak-anak. Olehnya itu, jika orangtua ingin si anak mematuhi perintahnya, tidak melakukan hal-hal yang tidak disenangi, maka banyak-banyaklah mendengarkan mereka. Bukan justru anak-anak itu yang disuruh terus-menerus mendengar orang dewasa.

Setelah orangtua mencontohkan dengan mendengarkan anak-anak, sebaliknya mereka pun akan meniru perilaku tersebut, turut mendengar ketika orangtua mereka berbicara dengan mereka. Sesederhana itu siklus yang perlu dilakukan. Adapun soal materi apa yang akan didengar, itu urutan berikutnya. Intinya adalah kemauan mendengar terlebih dulu. Perlu lebih sabar, lebih menyediakan waktu, dan mau menurunkan ego, meluaskan hati untuk memuliakan mereka. Dengan cara mendengarkan mereka.

Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syekh Yusuf

Kurang lebih sepekan lalu kami kedatangan tamu yang telah dinanti berhari-hari sebelumnya. Beberapa buah kardus berisi buku “Gemuruh Literasi” beriring-iringan masuk ke tengah ruangan toko, mencari tempat ternyaman untuk mengaso. Rupanya lantai yang berposisi di bawah kipas angin menjadi tempat aman untuk beristirahat. Sembari menanti tangan-tangan pembeli datang meminangnya.

Senyum paling lebar tentu saja datang dari sang pemilik buku. Ia yang sedianya hendak beristirahat siang, sontak terbangun, rela menunda kenyamanannya demi menyambut kehadiran sang pujaan hati. Soal kecintaannya pada karya buku berlaku pula pada karya siapa pun, khususnya terbitan-terbitan Liblitera, lembaga penerbitan yang telah bekerja sama dengan Paradigma Institute dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Terlebih lagi, jika proyek-proyek perbukuan yang selama ini dikerjakan, diampu ramai-ramai, melibatkan seluruh anggota keluarga. Semisal untuk karyanya kali ini, yang menyuntingnya adalah pasutri, putri dan menantu kami, Nurul Aqilah Muslihah dan Ikbal Haming, sementara perancang covernya, putri kedua kami, Nabila Az-Zahra yang memang mengambil spesifikasi keahlian dalam bidang desain grafis.

Dari balik jendela ruang tamu rumah kami, diam-diam saya mengamati seraya membatin, semestinya buku saya pun sudah datang. Namun apa boleh buat, karena ketidakseriusan saya menggarap naskah yang sebenarnya sudah ada, buku saya harus rela antri diterbitkan belakangan. Perkara ini sudah sering diperbincangkan dan jadi candaan, buku siapa yang nantinya akan terbit lebih dulu. Alhasil saya kalah cepat.

Hal lazim dalam rumah, orang-orang saling berebut ide, judul tulisan, memilih diksi, sampai pada rebutan mencari judul buku. Bersyukurnya semua perkara rebut-rebutan, sindir-sindiran, sarkas-sarkasan, hingga ledek-ledekan berujung tawa lepas tanpa ada ketersinggungan ataupun sakit hati. Iklim santai begini tidak muncul dalam kurun setahun dua tahun, tetapi melaui tahun-tahun panjang yang sarat pembelajaran. Sehingga siapa pun diharapkan mampu merasakan kepekaan terhadap apa yang nyaman dan tidak nyaman dilakukan antar satu dengan lainnya.

Sulhan Yusuf, pasangan saya, hingga hari ini telah jauh melampaui saya khususnya di dunia perliterasian. Jelas saja, ialah pembuka jalan bagiku bisa tetap menekuni jalan kepenulisan. Ia yang mendorong saya untuk menuangkan semua pengetahuan kepengasuhan saya yang masih minim pada awal kami menikah dalam bentuk tulisan. Yang akhirnya berhasil dimuat di harian lokal kala itu. Ia pula yang rajin memantau dan memotivasi saya hingga mau terus menulis saat semangat sedang turun. Dan, bahkan pada siapa pun yang ia temui, ia akan dengan senang hati bercerita dan membukakan jalan bagi orang tersebut mau bergerak untuk menulis. Sesederhana apa pun jenis karyanya. Ia motivator sekaligus inspirator bagi beberapa kalangan. Semangat orasinya saat masih aktif di kemahasiswaan, tak sadar ia ‘lampiaskan’ dalam obrolan dengan siapa saja yang bersemuka dengannya. Sering saya berseloroh, “Berilah kesempatan orang-orang yang bertandang ke rumah untuk turut mengambil peran dalam perbincangan.” Biasanya ia akan menjawab, “Biar sajalah. Mereka datang kan memang mau dengar saya bicara.” Disambung tawa lebarnya. Waduh, pe-de nya sudah tingkat dewa.

Ibarat petani yang rajin menabur dan merawat bibit yang disebar, maka wajar saja dalam perjalanan perliterasiannya, ia sudah menuai hasil. Kumpulan tulisan yang ia tabung hari demi hari akhirnya menjelma jadi buku-buku yang menjadi penanda kesetiaan dan konsistensinya bergerak di jalur literasi. Buku “Gemuruh Literasi” ini adalah buku kelimanya. Bahkan tulisan-tulisan saya yang berhasil dihimpun jadi dua buku pun semua lahir dari ide dan prakarsanya.

Geliat kami di jalan kepenulisan dan perbukuan pada akhirnya sangat mewarnai kualitas dan cara kami bercakap-cakap. Baik antar kami berdua, ataupun kami dengan anak-anak. Terkadang terdengar sangat baku, sesekali ada yang melontarkan sebuah istilah yang tidak umum didengar ataupun ditemukan dalam perbendaharaan sehari-hari. Yang lain kemudian diminta untuk menebak artinya. Hal seru jika satu sama lain saling mengoreksi penggunaan kata atau frasa yang kurang tepat dalam sebuah percakapan. Ujung-ujungnya semua akan tertawa ramai-ramai.

Satu keunikan yang menjadi ciri khas dalam setiap tulisannya, ia kerap melakukan kritik sosial dengan cara mengolok-olok dirinya sendiri. Sebagaimana salah satu judul esainya yang termuat dalam buku Gemuruh Literasi, berjudul “Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syekh Yusuf”. Ia yang sangat terobsesi dengan tokoh ulama, Syekh Yusuf yang memiliki karamah mampu menggandakan diri, berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Keinginannya ini ia utarakan sebagai sebentuk hasrat besarnya melakukan dan menghadiri dua kegiatan di dua kota berbeda pada waktu yang bersamaan. Syekh Yusuf dalam riwayat dan legenda Makassar-Bugis adalah seorang tokoh ulama penentang kolonial Belanda yang kuburannya konon bisa ditemukan di tiga tempat. Di Afrika Selatan, Pulau Jawa, dan di Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).

Sulhan Yusuf telah berhasil menunjukkan konsistensi dan persistensinya bergelut di jalan literasi. Buku ini salah satu penandanya. Selama 13 tahun ia telah berjibaku dengan segala keruwetan aturan dan ragam karakter orang-orang, berjalan dan menjalin kerja sama dengan berbagai latar status dan sosial, hingga mampu menerabas dinding-dinding birokrasi di Butta Toa, Bantaeng. Walaupun belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diinginkannya. Maka tindakan terbijak, yakni memberi ruang pada segala hal yang belum bersesuaian dengan harapan dan keinginan. Sambil tak henti bergerak melakukan pendampingan pada mereka yang membutuhkan.

Tetaplah menjadi Sulhan Yusuf, bukan Syekh Yusuf.

Santri-santriku Sayang

Kurang lebih sepuluh tahun saya mengajar mengaji anak-anak usia SD di sebuah masjid dekat rumah. Namun baru tahun ini saya dihadapkan pada sejumlah anak-anak yang belum cukup usia untuk mengikuti sebuah model pembelajaran model sekolahan. Di antaranya bahkan ada yang masih berusia lima tahun. Dengan rentang usia lima sampai tujuh tahun ini, mereka dikirim ke sebuah lingkungan belajar yang mengharuskan mereka duduk tenang, menyimak penjelasan guru. Di mana ruangan belajar tersebut tidaklah didesain sebagai tempat bermain. Melainkan diisi dengan deretan bangku dan meja untuk tempat mereka melakukan aktivitas menulisnya.

Dalam kondisi santri yang jumlahnya puluhan, ditambah lagi karakter mereka yang sudah pasti tidak sama, benar-benar membutuhkan energi dan konstentrasi yang amatlah besar. Walaupun mudah saja jika ingin menempuh cara instan, yakni dengan menyuruh anak-anak itu untuk diam, diam, dan diam setiap kali mereka mulai gaduh. Tetapi itu bukanlah iklim belajar yang sesuai dengan usia mereka yang memang masih dalam tahapan bermain. Rasanya tidak manusiawi jika tuntutan itu saya berlakukan.

Olehnya, terkadang saya membolehkan mereka bermain sepanjang tidak terlalu ribut. Karena bisa mengganggu anak-anak di ruangan lain yang juga sementara belajar. Oh iya, aula belajar anak-anak santri ini berada di lantai dua bangunan masjid. Cukup luas areanya. Bisa menampung hingga 70-an murid. Ruangan tersebut dibagi tiga dan masing-masing kelas hanya dipisahkan oleh dua lembar partisi dari bahan tripleks sebagai sekat. Saya bersama anak-anak kecil itu berada di kelas paling ujung. Adapun dua kelas lainnya berisi anak-anak santri yang usianya lebih besar, sekira pertengahan sekolah dasar. 

Pihak pengelola (Taman Pendidikan Quran) bisa saja menerapkan pembatasan usia penerimaan santri yang diperbolehkan mendaftar, tetapi kami punya pertimbangan lain. Bahwa ketika anak-anak kecil ini dikirim untuk belajar mengaji oleh orangtuanya, yang mana sekaligus belajar bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, maka kami menganggap hal tersebut sebagai sebuah kesempatan turut andil membentuk karakter mereka sedari awal. Latar belakang keluarga yang berbeda-beda, tentunya menghasilkan ragam karakter dan kepribadian yang berbeda pula. Pemahaman akan hal ini penting dilakukan di awal, agar kelak dalam proses interaksi menghadapi mereka tidak berbuah kekecewaan.

Meskipun proses belajar-mengajar yang berlangsung hanya kurang lebih satu setengah jam saja setiap harinya. Namun besar harapan kami mereka akan menyimpan memori indah dan membahagiakan saat belajar di tempat ini. Semoga upaya memberikan mereka stimulus-stimulus positif dan membangun menjadi fondasi kuat yang akan berdampak  besar pada pembentukan kepribadian mereka. 

Episode tanpa kekerasan

Tahun-tahun awal ketika saya ikut ambil bagian mengajar di sini, pengetahuan saya masih kurang soal pemahaman tentang dunia kanak-kanak. Ketegasan saya menghadapi mereka masih kadang bercampur dengan emosi kekesalan. Terlebih jika menghadapi anak-anak jelang remaja dengan label “tertentu”. Yang mana orangtuanya sendiri pun sudah angkat tangan dengan perilakunya. Saya berpikir, sedikit tekanan dan petuah dapat memberi pengaruh pada perubahan sikap mereka. Hingga kemudian lambat-laun saya memegang sebuah pandangan baru, bahwa kelemah-lembutan jauh lebih memberikan efek positif dibandingkan dengan melontarkan kata-kata bermuatan kemarahan pada mereka. Yang terjadi justru perlawanan dan penentangan yang kian lama akan semakin menguat dalam dirinya.

Tidak mudah untuk tiba pada titik ini. Terlebih lagi jika kita berada dalam sebuah komunitas atau kerja sama tim. Yang mana gagasan-gagasan kita belum tentu bisa diterima oleh teman sejawat lainnya. Disebabkan pemahaman serta pengalaman masing-masing yang berbeda dalam rentang waktu sekian lama berkecimpung dalam dunia ajar-mengajar. Namun saya tetap percaya, keyakinan yang kuat akan mampu mematahkan apa pun rintangan yang muncul di sekitarnya. Dan pada akhirnya kekuatan teladan mampu memengaruhi dan menyihir lingkungan tertentu menjadi seperti apa yang diharapkan oleh orang tersebut.

Beberapa prinsip mendasar perlu diperhatikan sebelum mempraktikkan metode mengajar tanpa kekerasan ini, sebagai sebentuk upaya menyiapkan hati penuh welas asih. Pertama kita perlu meyakini bahwa anak-anak pada dasarnya tidak paham apa-apa sebelum orangtuanya atau siapa pun orang dewasa di sekitarnya mengajarinya tentang suatu hal. Kedua, karena pengetahuan yang masih minim, anak-anak belum banyak tahu soal benar dan salah. Sehingga mereka belum bisa dihukumi sepenuhnya jika melakukan sebuah kesalahan. Maka dari itu, mereka perlu ditanya terlebih dulu. Mengapa mereka melakukannya? Apakah sudah tahu kalau perbuatan tersebut tidak baik dan tidak dibenarkan? Dan seterusnya. Ketiga, anak-anak adalah makhluk sosial yang cinta damai. Sesungguhnya mereka tidak punya niat buruk berbuat sesuatu yang menyakitkan pada orang lain. Mungkin mereka hanya meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Atau boleh jadi mereka mengalami pembiaran dalam berperilaku tertentu, sehingga mengira hal tersebut sebagai suatu hal yang boleh dilakukan.

Di atas segalanya, sangat penting menanamkan dalam keyakinan, bahwa anak-anak sungguhlah tidak pernah punya niat melakukan perbuatan buruk. Mereka hanya tidak tahu bagaimana cara yang tepat dalam melakukannya. Maka sangatlah perlu menanamkan prasangka baik dalam hati setiap kali menghadapi perilaku buruk mereka. Memandang dalam-dalam ke wajahnya, tatap matanya, sambil tersenyum, beritahu ia bagaimana seharusnya bertingkah baik.

Sebagai balasannya, anak-anak ini akan memandang kita dengan sorot mata yang seolah berkata, “Terima kasih telah menerima dan memahamiku dengan begitu baik dan penuh penghargaan. Percayalah, aku pun akan tumbuh besar dan percaya diri, sebesar keyakinan dan harapanmu kepadaku.”

Ada Bintang dalam Bening Matamu

Jika kita pernah mendengar lagu anak-anak “Di Mata Mama Ada Bintang” karya A.T. Mahmud,  maka kali ini saya ingin membalik syairnya menjadi di mata anak ada bintang. Tentu saya tidak ingin mengusik kepopuleran lagu ini, melainkan sekadar ingin menumbuhkan kesadaran dalam diri orang dewasa, untuk sering-sering menatap mata anak-anak kita. Pertanyaan sederhananya, seberapa sering dan dalam kita menatap mata mereka kala berhadap-hadapan dan berbicara dengan mereka? Kalaupun melihat ke wajah anak-anak, seperti apa cara kita memandang mereka? Tidakkah mengandung ketergesa-gesaan dan penuh prasangka, syukur-syukur kalau sempat menoleh ke arah mereka saat berbicara. Seperti inilah gambaran kejadian sehari-hari yang biasa kita saksikan dalam kehidupan ini. Bahkan mungkin kita termasuk salah seorang yang melakukannya tanpa sadar.

Ketidaksadaran bisa jadi alasan untuk membenarkan perilaku ini. Ia terbit karena perbuatan yang diulang-ulang sebagai hasil peniruan dari orang-orang terdahulu yang juga sudah terbiasa melakukannya. Karena banyak yang melakukannya dianggaplah sebagai sebuah hal yang lumrah alias benar. Apabila seseorang tidak belajar dan memiliki pengetahuan, maka situasi tersebut akan selamanya seperti itu. Tidak akan ada perubahan. Manusia dikaruniai akal yang dengannya ia mampu menciptakan beragam kreativitas dan berbagai perubahan kepada hal-hal baik. Itulah sebabnya sering kita dengar jargon, ilmu itu mahal.

Ubah cara pandang kita terhadap anak

Apabila kita menginginkan anak-anak tumbuh baik dan sempurna sebagaimana yang kita harapkan, maka hal utama yang perlu kita benahi adalah, memperbaiki konsep dan cara pandang kita terhadap mereka. Pertama-tamaanak bukanlah milik ataupun investasi masa depan. Karena mereka adalah manusia berjiwa merdeka, bukan benda mati yang tanpa nyawa. Sehingga orangtua hendaknya tidak seenaknya memperlakukan mereka tanpa melibatkan unsur kemanusiaannya. Sekalipun usianya masih sangat kanak-kanak. Ajaklah mereka bercakap-cakap, libatkan mereka dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. Bahkan sejak bayi, walaupun belum bisa berbicara atau menanggapi, tetap saja kita diminta untuk mengeluarkan kata-kata setiap kali berinteraksi dengan mereka. Semisal setiap memandikan, memilihkan baju, orangtua selaiknya berbicara seolah-olah sedang menanyakan pilihan warna bajunya mau yang mana, atau pilihan aktivitasnya ingin mandi atau makan dulu, dan seterusnya. Tentu saja tanggapan bayi umumnya sama saja. Tetapi orangtua yang peka, mampu membaca dari pancaran mata atau ekspresi si anak. Walaupun boleh jadi salah memahami maksud mereka. Namun setidaknya ada proses interaksi aktif yang terjadi di sana. 

Jika sejak bayi bahkan masih berupa janin anak-anak dilibatkan dan didengarkan suara hatinya, maka besarnya nanti mereka akan lebih mudah diarahkan dan diajak bekerja sama. Persoalan-persoalan yang muncul pun akan menjadi lebih minim dengan model komunikasi dua arah seperti ini. Cukuplah gaya kita dibesarkan dulu berkebalikan dengan gaya kita membesarkan anak-anak kita. Putuskan rantainya, kendalikan situasi dengan mengambil alih model kepengasuhan yang lebih manusiawi.

Kedua, perlakukan anak sebagaimana kita ingin diperlakukan. Bukan mentang-mentang mereka anak-anak maka kita seenaknya berlaku tidak baik pada mereka. Rumus yang sangat mudah diingat dan dicerna. Persoalannya hanyalah, kita mau atau tidak melakukannya. Adalah sebuah ketidakadilan dan keegoisan yang nyata manakala seseorang menghendaki perlakuan baik untuk dirinya, tetapi menerapkan hal yang berlawanan untuk orang di luar dirinya. 

Jangan karena masalah yang terjadi pada orang dewasa lalu serta-merta ditimpakan kepada anak-anak. Usia, kelemahan, ketidakberdayaan, status, seharusnya tidak menjadi sebuah jalan mudah untuk melampiaskan segala persoalan kehidupan pada mereka. Sungguh sebuah kezaliman yang nyata. Mengapa ia terlihat aman dan baik-baik saja, karena banyak kasus kekerasan terjadi di wilayah privat, yakni di dalam rumah, dan dalam lingkungan keluarga sendiri. Di mana anggapan yang masih dipegang kuat oleh kebanyakan orang, urusan dalam rumah tangga tidak boleh dicampuri oleh siapa pun pihak di luar sana. Terkecuali jika kasus tersebut sudah masuk dalam kategori kekerasan yang terang-terangan, maka hukum akan berbicara.

Tetapi apakah kerusakan itu nanti disebut sebuah kerusakan saat ia terkategori parah? Sementara kekerasan tersebut sesungguhnya sudah dimulai ketika ia masih berupa bibit yang belum tampak oleh mata biasa? Karena kekerasan itu sebenarnya bisa berupa lontaran kata-kata yang meremehkan, melecehkan, memprovokasi, menghina, atau menjatuhkan harga diri. Efeknya akan terus menjalar menembus sekat-sekat pembuluh darah dan saraf manusia. Hingga dewasanya nanti menjelmalah ia menjadi manusia-manusia berhati dingin, apatis, tidak peka, pemarah, dan berbagai bentuk emosi yang terpendam dalam dirinya. Sungguh besar kontribusi kita terhadap pembentukan karakter-karakter mereka di masa kini dan masa yang akan datang.

Kulihat bintang di matamu

Sebagaimana kita saat melihat bintang di langit, kita akan melihatnya dengan penuh kekaguman dan ketakjuban. Pendar-pendar indahnya menggoda kita untuk menatapnya berlama-lama. Tentu bintang dalam mata anak-anak tidaklah seindah kerlip bintang di atas sana, tetapi keindahan sesungguhnya terletak pada kemampuan kita melihat niat tulus yang terpancar dari hati lewat mata mereka. Bahwa sesungguhnya tidak ada anak yang memiliki rencana busuk di hatinya. Tidak ada anak yang berniat mencelakakan orangtuanya. Tidak ada anak yang bermaksud berlaku kurang ajar pada orang-orang di sekitarnya. Tidak ada anak yang berniat bohong, memanipulasi, atau melakukan kejahatan yang terencana. Jika di kemudian hari ditemukan fakta anak-anak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas, hal itu disebabkan oleh perlakuan-perlakuan yang tidak tepat yang menimpa diri mereka dalam kurun waktu lama. Kesemuanya adalah bentuk reaksi mereka terhadap aksi-aksi yang sekian lama telah mereka dapatkan dari orang-orang dan lingkungan tempat mereka dibesarkan.

Karena Tuhan telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, fitrah dan suci. Orangtua dan lingkungannyalah yang menjadikannya berbeda. Olehnya itu, di hari istimewa ini, Hari Anak Nasional, mari beramai-ramai menatap mata anak-anak kita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Karena ada keindahan cahaya bintang di sana.

Di matamu, Sayang ada bintang

gemerlapan bila kupandang

di matamu, Sayang ada bintang

yang tak pernah pudar bersinar

Di matamu, Sayang ada kasih sayang

yang slalu bersinar terang

di matamu, Sayang ada kasih sayang

yang slalu bersinar terang

(Dimodifikasi dari lagu “Di Mata Mama Ada Bintang”)

Memang Kenapa Kalau Adik Lebih Dulu Menikah?

Dari kemarin banyak orang-orang terdekat yang menaruh simpati karena tahu adik laki-laki akan lebih dulu menikah. Ada yang terang-terangan mengatakan “kasihan” sampai yang berusaha menjaga perasaan dengan memberi support. 

Klise mungkin, tapi perasaan saya baik-baik saja. Tidak ada rasa kesal bahkan sesak karena didahului adik naik pelaminan. Jika soal ingin cepat menikah, mungkin sudah saya lakukan beberapa tahun yang lalu. Ketika seseorang meminta kesediaan saya. Namun belum bisa saya iyakan. Ada banyak hal yang membuat saya tidak siap bahkan sampai hari ini. Benar, bahwa tidak ada orang yang akan benar-benar siap. Tapi, minimal dalam mengarungi bahtera yang tidak mudah ada bekal yang telah kita persiapkan ; ilmu dan kemampuan finansial.

Pernah ada salah satu teman yang blak-blakan ngomong ke saya “Makanya tidak usah banyak memilih. Toh juga kamu tidak begitu cantik. Kalau sudah ada yang datang, terima saja niat baiknya laki-laki.” Aduh, sempit sekali cara berpikirnya. Jadi, kalau tidak cantik, boleh memilih dengan serampangan? Hanya karena tidak cantik, kita tidak perlu selektif memilih? Please deh, niat baik laki-laki saja tidak cukup gaes. Bicara kriteria, fisik laki-laki tidak menjadi soal. Saya cukup tahu diri, dari segi fisik saya tidak punya value apa-apa. Karena itu, Ada dua hal yang sulit sekali untuk saya tolerir. Kriteria yang menurut saya mesti ada didiri laki-laki. 

Pertama, saya sulit sekali mentolerir laki-laki yang isi kepalanya B aja. Bayangkan saja, ia yang akan menjadi nahkoda, kepala, dan pemimpin. Kalau tidak punya keluasan ilmu, lantas dengan cara apa ia membimbing? Kalau ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, ayah harus jadi kepala sekolah yang cakap. No debat! Entah bagaimana hari-hari yang akan saya lalui ketika bertemu dengan laki-laki yang baru diajak diskusi saja sudah tidak nyambung. 

Mau diajak ngobrol soal parenting, dia bilang atur sajalah menurutmu. Asal uang belanja tetap saya berikan. Hasilnya kita susah untuk komitmen ke anak. Misalnya, saya komitmen mau anak menangis sampai tantrum tidak bakal saya turuti semua keinginannya. Biarkan dia belajar kalau tidak semua yg dia mau bisa didapatkan dengan mudah meski ia menangis sambil ngamukan. Tapi karena suami tidak tega, ia tetap memberikan dan mengomeli saya agar tidak keras jadi ibu. Hahaha. 

Bisa sejauh ini saya berpikir? Oh jelas! Saya tidak ingin menikah sekadar menikah, berhubungan biologis, melahirkan, lalu membesarkan generasi dengan ilmu ala kadarnya. Lihat cinta laura dengan kegelimangan hartanya. Mau beli apapun tentu bisa. Tapi uangnya lebih banyak dipakai untuk berbagi dengan sesama. Dari mana ia belajar? Orang tua yang berhasil jadi teladan! Orang tuanya membangun yayasan, menyekolahkan anak-anak di pelosok. Dan dari kecil Cinta sudah diajari banyak hal-hal positif. Ini karena orang tuanya lagi-lagi punya keluasan ilmu dalam mendidik.

Masih banyak sekali contoh-contoh penerapan ilmu parenting yang saya lihat dan amati di sekitar saya. Anak dari senior perempuan saya kak Ikha yang sedari kecil sudah dikenalkan dengan buku, sering diajak dialog, dan masih SD sudah kritis bertanya banyak hal ke ibunya. Terakhir, yang viral di tiktok Shabira Alula yang dari kecil sudah fasih ngomong dengan bahasa baku. Dari kecil ia belajar meminta maaf ketika salah, meminta tolong saat butuh bantuan, dan berterima kasih ketika dibantu atau diberi sesuatu. 

Dari banyak model parenting yang saya ikuti dan amati semuanya berasal dari usaha kedua orang tuanya untuk kompak sama-sama belajar. Ini baru soal parenting. Kita belum bahas tentang pekerjaan domestik yang tak melulu jadi kewajiban istri. Pun suami bisa ikut bantu juga, dan masih banyak soal-soal lainnya.

Jadi kalau sejak awal laki-lakinya minim literasi, baca buku kurang, nonton poadcast yang isinya mengedukasi jarang, bergaul dan gabung di ruang-ruang diskusi hampir tidak pernah. Jangan harap setelah menikah kamu bisa dengan mudah merubahnya jadi orang yang open minded. Kecuali, kalo hal-hal yang saya jelaskan di atas tidak menjadi prioritas. Kamu juga memang tidak menjadikan ilmu sebagai ukuran, ya sudah tak masalah. Menikah karena memang dia gagah, punya banyak uang, dan nanti bagaimana bisa beli mobil, rumah, emas, dsb. Silakan saja. Tapi, saya percaya kita akan dipertemukan dengan orang yang punya kecenderungan yang sama. 

Kriteria kedua, laki-laki harus punya pekerjaan. Laki-laki yang mau bekerja, tidak gengsian, dan bukan laki-laki yang mengharap warisan orang tua. Kenapa penting kemandirian ekonomi dalam membangun rumah tangga? Salah satunya dapat meminimalisir riak-riak pertengkaran. Kamu mau tetap hidup sederhana? Tak masalah.

Tapi, hidup sederhana pun butuh modal gaes. Saya tidak terima konsep mau diajak susah hanya karena laki-lakinya memang pemalas. Yang tepat adalah berjuang bersama. Saya jadi teringat kurir langganan saya. Pasangan suami istri yang kompak ngurir berdua. Kalau misalnya saya bisa pontang panting setiap hari masuk kerja, sebagai kepala keluarga ia mestinya punya harga diri bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya.

Ketika kita sepakat menikah, artinya kita juga sepakat untuk membangun generasi. Kita tidak hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya, tapi memastikan anak kita lahir dan besar di keluarga yang tepat. Menjamin pendidikannya juga mendukung setiap hal yang membuatnya bisa bertumbuh dan mengaktualkan potensi yang ia punya. Tentu, keluasan ilmu saja tidak cukup. Perlu dibarengi kemandirian ekonomi. Dari sanalah keluarga yang berkualitas bisa terwujud. Bukan mau mendahului takdir atau takabur. Tapi setiap perempuan punya harapan-harapannya, bukan?