Arsip Kategori: Puisi

Reruntuhan Peradaban dan Puisi-Puisi Lainnya

Reruntuhan Peradaban

Ketika sore begitu terasa lama, dan rintik hujan turun begitu pelan

Terpantul warna-warna yang indah penuh kehangatan

Aku sejenak terdiam

Namun segera kupandangi bayanganku

Aku makin yakin ini saatnya untuk bergegas

Di tepian rerutuhan peradaban kudapati bangunan yang tua

Di dalamnya terpancar kehangatan yang sedih sedu-sedan

Mungkin tak ada yang peduli

Tapi papan tulis dan potongan kapur

Dan buku-buku yang berserakan menceritakan gambaran masa lalu.

[2016]

Lalu Semua Berlalu

Kudengar derap langkah tiap orang yang melalui jalan sisi menara

Jejak demi jejak menjadi sebuah lukisan yang kadang dipandangi

Hembusan angin kadang menyentuhnya namun tak hilang jua

Sedikit waktu yang kupunya, derai-derai ombak berkisah tentang samudra

Sedikit waktu yang kupunya, butiran-butiran pasir terbawa oleh badai

Namun waktu punya samudra dan butiran pasirnya sendiri.

Biarkan tiap detik berlalu

Karena waktu yang melaluinya.

[2016]

 

Menghilang

Biarlah semua berlalu dengan apa adanya

Ketika angin bertiup dan tak terdengar

Ketika kulihat dirimu dari gelapnya malam tanpa cahaya purnama

Dari mana datangnya keluh kesah ini

Tapi seketika larut menghilang

Ketika jejakmu kudapati di tanah tandus yang kering

Bagai embun yang begitu halus

Dan, biarlah aku ikut menghilang karenamu.

[2016]

 

Selamat Malam Senja

Kian hari rasa tak sama

Hidup kesepian mati kesepian

Tak apa kadang hidup begitu kelam

Menemani malam yang begitu larut

Melihat langit dipenuhi bintang

Terlintas rasa yang begitu dalam

Terkadang bertanya tentang hidup yang begitu pilu

Lantas senja kan meninggalkan sang abadi

[2016]

Tiada Newton Pagi Ini

Buah jatuh dari pohon diterpa barangkali angin mungkin
Akibat beratnya sendiri
Newton tercenung diam, apa yang membuat bintang
Menggelantung
Tapi buah jatuh tanpa disuruh

Di suatu pagi matahari masih kilatan emas
Burungburung terbang melintas
Di atas atapatap daundaun bergesekan
Karsen jatuh tanpa disuruh
Menerpa kursi bambu

Namun tak ada yang tercenung
Mengapa bintang masih di atas sana
Juga buah masih terus berjatuhan
Menggelinding
Sudah tiada Newton pagi ini

Jalan ke Bulan

Telah sampai di suatu subuh
Lotengloteng dibuat bergetar
Tergeletak sudah sebujur tubuh
ditinggal lili tak sempat mekar

Sudah tiba dikau dibuat hari yang naas
sembari jadi siasia, jangan!
ini mimpi yang belum tuntas separuh
sepotongnya telah tiba, di bulan

Jalan lenggang, pagar rumahrumah kokoh dari seikat bambu
Telah lama hilang desir suara di bibir loteng
terbang sejak sajak seperti suara ajak
meraung, tapi siapa peduli
mimpi masih dikandung badan
belum sampai, di bulan

Di atas dipan, tiada purnama
Aku, tak tahu jalan, ke bulan